Jumat, 14 Mei 2010

SAID BIN MUSAYYIB KETIKA SANG ALIM MENOLAK FITNAH DUNIA

SAID BIN MUSAYYIB
KETIKA SANG ALIM MENOLAK FITNAH DUNIA

Siang itu, tiba-tiba khalifah Abdul Malik bin Marwan memanggil Maysarah, salah seorang pembantunya, untuk pergi ke mesjid Nabawi. “Pergilah ke masjid Nabawi, panggilah salah satu ulama yang ada di sana agar dia berbincang-bincang denganku,” demikian ucapan khalifah kepada Maysarah. Dengan kostum dan atribut lengkap selaku pembantu khalifah, Maysarah segera bertolak ke masjid Nabawi dan di sana ia mendaparti salah seorang tokoh ulama Madinah yang termasuk tokoh dari generasi tabi’in. Saat itu, syaikh tengah duduk khusyu’ dan serius memimpin sebuah halaqah pengajian di depan banyak murid-muridnya.

Sebenarnya tak seberapa jauh, jarak antara Maysarah berdiri dan halaqah tersebut. Namun berulang kali ia mengangkat tangan memberi isyarat ke arah Syaikh, beliau sedikitpun tak menoleh dan tak perduli kepada Maysarah. Akhirnya, Maysarah maju dan mendekatkan diri kepada syaikh seraya berkata:

“Apakah anda tidak melihat isyarat dari saya kepada anda?” Syaikh sendiri seolah tampak tak mengerti sehingga balik bertanya: “Kepada saya?” Maysarah kalu mengiyakan. “Apa keperluanmu?” tanya syaikh. Lalu Maysarah menjelaskan bahwa ia adalah pembantu khalifah untuk meminta syaikh datang menghadap khalifah agar ia dapat berbicara dengannya. Di luar dugaan, syaikh menjawab: “Aku bukan juru bicara khalifah, sesungguhnya siapapun yang menghendaki sesuatu, maka hendaknya sendiri yang datang kepadanya. Di masjid ini banyak tempat untuknya jika ia mau,” demikian jawaban syaikh.

Akhirnya, Maysarah pulang kembali ke tempat kediaman khalifah dan melaporkan kejadian ini kepada khalifah. Mendengar cerita Maysarah, khalifah merasa ta’jub dan segera berdiri sambil berkata: “Syaikh itu pasti ‘Sa’id bin Musayyib. Andaikan engkau tadi tak mendatangi dan berkata seperti itu kepadanya, wahai Maysarah,” ucap khalifah.
Menyaksikan peristiwa yang dialami ayahnya, seorang putra bungsu khalifah ada yang bertanya kepada salah seorang kakaknya: “Siapakah orang yang berani menolak perintah amirul mu’minin, lancang tak mau menghadap, dan hadir di majlis khalifah. Padahal dunia telah tunduk kepadanya, dan ia disegani oleh raja-raja Romawi.” Kakaknya menjawab: “Dia adalah orang yang dahulu pernah ayah lamarkan putrinya untuk dinikahkan dengan saudaramu alwalid. Tapi ia menolak permintaan ayah…”

Mendengar jawaban itu sang adik terheran-heran dan bergumam: “Bagaimana mungkin orang tak ingin mewarisi tahta kekhalifahan? Bagaimana orang tak menerima kedudukan terhormat sebagai mantu khalifah? Lalu dengan siapakah putrinya kini ia nikahkan? Apakah suaminya lebih baik dari putra khalifah? Sang kakak menggeleng dan mengatakan tak tahu menahu kabar putri Sa’id bin Musayyib setelah itu.

Di kalangan pemburu hart; dunia, sikap Sa’id bin Musayyib mungkin dinilai “neko-neko’ dan menyia-nyiakan kesempat an menaikkan taraf hidup. Namun demikianlah, Sa’id bin Musayyib sebagai orang tua sekaligus seorang ‘alim yang lebil banyak menenggelamkan diri dalam aktivitas da’wah dan ibadah dan da’wah ilallah. Tak ada penilaian yang bersifat materi keduniaan dalam jiwa dan benaknya.

Ingin tahu, kepada siapa Sa’id bin Musayyib kemudian menikahkan anaknya? Lebih hebatkah dia dari al-Walid putri khalifah? Sa’id bin Musayyib menyerahkan putrinya kepada salah seorang murid halaqah pengajiannya. Ia bukanlah seorang kaya, apalagi keturunan bangsawan, bahkan hanya seorang pemuda yatim yang berstatus duda dari wilayah Hayna, namanya Abu Wada’ah.

Kisahnya begini. Seperti biasa, setiap hari Sa’id bin Musayyib secara rutin memberi pelajaran di masjid Nabawi. Banyak para pemuda dari berbagai daerah yang hadir pada halaqah Sa’id bin Musayyib. Namun suatu hari, Abu Wada’ah, salah seorang murid halaqah, tak hadir dalam majlis. Sejak hari pertama, ketidakhadiran Abu Wada’ah selalu dipertanyakan oleh Sa’id bin Musayyib. Beliau bertanya kepada beberapa orang muridnya yang hadir prihal Abu Wada’ah, namun tak satupun yang tahu tentang beritanya secara pasti. Mereka hanya menduga barangkali Abu Wada’ah menderita sakit atau ada halangan lain hingga tak dapat hadir di majlis. Ketidakhadiran Abu Wada’ah, bahkan berlanjut hingga beberapa hari setelah itu.

Selang beberapa hari, barulah Abu Wada’ah tampak kembali di antara murid-murid halaqah Sa’id bin Musayyib. “Ke mana saja engkau wahai Abu Wada’ah?” sapa Sa’id bin Musayyib. Air muka Abu Wada’ah mendadak menggambarkan kesedihan, ia lalu menerangkan perihal istrinya yang meninggal beberapa hari lalu, sehingga ia sibuk mengurus masalah-masalah istrinya beberapa hari dan tak sempat hadir ke halaqah. “Mengapa tak kau beritakan hal itu kepada kami wahai Abu Wada’ah? Sehingga kami bisa menyaksikan janazah istrimu dan membantu kesulitanmu,” tanya Sa’id bin Musayyib.

“Jazakumulullah khairan…” ucap Abu Wada’ah sambil hendak beranjak pergi, namun syaikh menahannya. Sampai ketika semua murid yang lainnya telah pulang, syaikh berkata dengan sedikit berbisik: “Tidakkah engkau berfikir untuk menikah kembali, wahai Abu Wada’ah.” Abu Wada’ah cukup tersentak mendengar pertanyaan yang diajukan gurunya, ia segera menjawab: “Yarhamukallahu wahai guruku. Siapakah yang ingin menikahkan aku dengan putrinya? Saya hanya seorang yatim yang miskin,” ucap Abu Wada’ah polos. “Bahkan saya tak memiliki harta kecuali uang seharga dua atau tiga dirham saja…” lanjutnya.

Beberapa saat keduanya terdiam, Syaikh sendiri tampak arif dan demikian memahami perasaan Abu Wada’ah. Tak lama kemudian, syaikh mengucapkan sebuah perkataan yang sama sekali tak diduga oleh Abu Wada’ah: “Saya yang akan menikahkan putrinya denganmu, wahai Abu Wada’ah,” bisik syaikh pelan.

“Syaikh… ” lidah Abu Wada’ah seolah kelu mengungkapkan ketakjuban dan ketidakrnengertiannya. “Anda akan menikahkan putri anda dengan saya, setelah mengetahui kondisi yang saya alami…?” kata Abu Wada’ah.

Sa’id bin Musayyib dengan tenang berkata: “Ya…, bila datang kepada kami seorang pemuda yang baik agama dan akhlaqnya, kami akan nikahkan dia dengan putriku. Dan engkau, bagi kami telah memenuhi kriteria itu…”
Tak berapa lama kemudian, Sa’id bin Musayyib memanggil beberapa orang muridnya yang kebetulan masih berada di dalam masjid. Ketika mereka ada di dekatnya, saat itu juga Sa’id bin Musayyib mengucapkan lafaz hamdalah dan shalawat atas Rasulullah SAW… lalu disebutah lafaz akad nikah antara putrinya dan Abu Wada’ah. Maharnya adalah uang seharga dua dirham.

Berbagai perasaan gembira, haru, bingung bercampur dalam hati Abu Wada’ah. Setelah selesai acara ‘aqad nikah yang sangat sederhana itu, ia segera pamit pulang ke rumahnya.
“Siang itu sebenarnya saya tengah puasa, tapi peristiwa itu menjadikan aku hampir lupa dengan puasaku…” ungkap Abu Wada’ah. Dalam perjalanan hingga sampai di rumahnya, hatinya selalu dipenuhf tanda tanya. Apa sebenarnya yang telah saya lakukan? Kepada siapa saya akan meminjam uang? Dari mana saya akan memperoleh harta…? Dan sebagainya.

Dari pertanyaan-pertanyaan sejenis terlintas terus menerus dalam hati Abu Wada’ah hingga tiba saatnya waktu shalat maghrib dan ia harus berbuka puasa. Selesai melakukan shalat maghrib, ia bersiap untuk berbuka dengan sepotong roti dan minyak.
Akan tetapi, baru ia telan satu atau dua potong roti, tiba-tiba terdengar suara orang mengetuk pintu rumahnya. “Siapa di luar…?” tanya Abu Wada’ah. Suara yang terdengar kemudian segera dikenalnya, ia adalah Sa’id bin Musayyib. Datang bersama putrinya yang telah sah menjadi isteri Abu Wada’ah. Mulanya, Abu Wada’ah mengira, bahwa Sa’id bin Musayyab datang untuk memperbincangkan masalah lebih lanjut dari pernikahan antara dirinya dan putrinya.
Namun Sa’id bin Musayyab berkata: “Sesungguhnya puteriku kini telah menjadi isterimu, sejak senja hari tadi. Dan, aku paham bahwa tak ada seoangpun yang akan menemanimu di sini. Aku tak ingin bila engkau berpisah dengan isterimu. Sekarang, saya datang bersamanya…

Sejenak kemudian, ia panggil putrinya dan berkata: “Dengan nama dan barakah Allah, masuklah ke rumah suamimu wa¬hai puteriku…” ucap Sa’id bin Musayyib. Beberapa hari selanjutnya, kehidupan Abu Wada’ah penuh dengan kebahagiaan, apalagi setelah mengetahui bahwa ternyata isterinya adalah seorang wanita yang paling cantik di kotanya. Yang paling hafal al Qur’an dan paling menguasai tentang hadits-hadits Rasulullah. Selain wanita yang paling memahami hak-hak suaminya. Berhari-hari kemudian Abu Wada’ah hidup bersama isteri shalihatnya, tanpa sekalipun dikunjungi oleh Sa’id bin Musayyib, mertuanya.

Ketika ia kembali hadir mengikuti pengajian Sa’id bin Musayyib, beliau berkata: “Bagaimana kabar isterimu wahai Abu Wada’ah?”
“Alhamdulillah, keadaannya sebagaimana yang disukai dengan orang yang benar dan tidak disukai oleh musuh..?” ucap Abu wada’ah puitis.
“Alhamdulillah, kalau demikian,” jawab Sa’id bin Musayyib.
Setelah kembali ke rumahnya, Abu Wada’ah terkejut karena temyata Sa’id bin Musayyib telah mengirimkan sejumlah uang untuk awal kebutuhan rumah tangganya.

Bagaimana pendapat putera Khalifah atas kejadian ini?
“Aneh sekali orang ini. Manusia yang menjadikan dunia sebagai jembatan ke akhiratnya. Demi Allah, penolakannya atas permintaan khalifah untuk menikahkan puterinya, bukan karena keangkuhannya dan bukan karena putera khalifah tidak sekufu dengan puterinya. Tapi ia menolaknya lantaran kekhawatirannya akan fitnah dunia.

Sa’id bin Musayyib sendiri, tatkala ditanya tentang sikapnya berkata: “Sesungguhnya, puteriku adalah amanat yang ada di leherku. Aku telah carikan untuknya apa-apa yang menjadi mashlahat untuk kebaikan dirinya. Bagaimana pendapat anda, bila puteriku dipindahkan ke istana bani Umayyah. Di sana ia menikmati berbagai keindahan dan kepuasan harta.

Sementara di sampingnya banyak pelayan yang selalu setia memenuhi keinginannya. Bagaimana pula bila ternyata suaminya kemudian menjadi khalifah? Di manakah agamanya saat itu?”
Itulah Sa’id bin Musayyib, seorang tokoh ulama dari generasi tabi’in yang.pernah berguru kepada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhum. Salah satu syi’ar dalam hidupnya adalah: “Penghargaan seorang hamba terhadap dirinya adalah sebatas keta’atannya kepada Allah. Sedangkan penghinaan seorang hamba kepada dirinya adalah sebatas kema’shiatannya kepada Allah…” Rahimakallahuyaa Sa’id bin Musayyib. Barakallahu yaa Aba wada’ah…∎

ABU MUSLIM AL-KHAULANI

ABU MUSLIM AL-KHAULANI

Goretan emas yang tercatat dari sikap para tabi’in adalah hanya sepercik dari rangkaian kisah mulia yang ada. Disanalah jati diri kita, potret kehidupan generasi Setelah sahabat yang penuh dengan sikap dan prilaku sejati.

Namun sayangnya, khazanah yang tak ternilai itu kini telah tersingkir dari dada ummat.
Kemuliaannya terkubur sejurus dengan menjauhnya kita dari ajaran Islam itu sendiri

Agak tergopoh-gopoh pemuda itu bertolak dari Yaman menuju kota Madinah. Gejolak kalbunya untuk bertemu Rasulullah semakin menguat, semenjak ia mendengar kabar tentang sakit keras yang diderita Rasul SAW. Pemuda itu bernama Abu Muslim al-Khaulani. Ia memang belum pernah melihat Rasulullah namun keimanan pemuda ini terkenal teguh dan kuat. Masyarakat Yaman mengagumi kashalihan dan keta’atannya yang luar biasa. Setelah beberapa hari menempuh perjalanan siang malam, sampailah ia di perbatasan Yatsrib (Madinah), tiba-tiba ia mendengar berita yang sangat membuatnya sedih; Rasulullah SAW telah wafat. Dan kepemimpinan kaum muslimin saat itu telah beralih kepada Abu Bakar Shiddiq ra.

Abu Muslim menginjakkan kakinya di Madinah. Ia terus berlalu menuju masjid Rasulullah SAW, masjid Nabawi. Setelah mengikat ontanya di pelataran masjid, di depan pintu masjid ia mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasulullah. Pemuda itu lalu melakukan shalat dengan penuh khusyu’.

“Dari manakah anda wahai pemuda?” Umar ra yang saat itu juga berada di dalam masjid menyapa Abu Muslim, setelah usai shalat. Abu Muslim menjawab: “Aku dari Yaman.”

Agak terperanjat Umar mendengar jawaban Abu Muslim, lalu ia segera bertanya: “… Tolong segera ceritakan kepadaku bagaimana keadaan hamba Allah yang telah dibakar oleh musuh-Nya, kemudian ia diselamatkan dari jilatan api… ?” Abu Muslim pun menjelaskan:

“Alhamdulillah, saat ini dia berada dalam kebaikan dan karunia Allah.”
Sejak awai pertemuannya dengan pemuda Yaman ini, sebenarnya Umar telah menyimpan simpatik melihat sikap dan gerak-gerik Abu Muslim. Sekarang, dengan seksama Umar memandang wajah dan perawakan pemuda itu, dan akhirnya ia berkata: “Demi Allah, bukankah anda ini orangnya…?”

Abu Muslim pun menjawab: “Ya benar.”

“Alhamdulillah, yang telah memperkenankan diriku bertemu dengan salah seorang ummat Muhammad yang telah diberi karunia Allah sebagaimana karunia yang pernah diberikan kepada khalil-Nya Ibrahim as… “

Jilatan api yang menjadi dingin

Benar, karena keteguhan imannya, Allah SWT telah menunjukkan kekuasaan-Nya atas pemuda Abu Muslim. Ia pernah dibakar oleh seorang musuh Allah yang mengaku nabi, namun jilatan api itu tak dapat membakar jasad Abu Muslim. Kisah ten-tang peristiwa ini adalah sebagai berikut:

Berita tentang jatuh sakitnya Rasulullah SAW sepulangnya dari haji wada’ menyebar ke seluruh pelosok Jazirah Arab. Di tanah Yaman ada seorang yang berbadan kekar dan berperangai keji. Ia adalah salah seorang bekas dukun dan tukang tipu di masa jahiliyahnya. Namanya Aswad al-’Ansiy: Berita tentang sakit keras yang diderita Rasulullah itu kemudian dijadikan kesempatan untuk murtad dari agama Islam dan mengaku sebagai nabi. Aswad al-’Ansiy terkenal sebagai yang pandai bicara, pintar berdiplomasi, otaknya cukup cerdas, pandai menarik perhatian, paling bisa mengutak-atik pikiran manusia dengan perkataan bathil serta mahir mencari lobi orang-orang tertentu untuk kepentingan pribadinya. Di hadapan umum, ia selalu melindungi wajahnya di balik selembar kain hitam. Itu sengaja dilakukan, untuk menyamarkan jati dirinya dan menimbulkan wibawa di hadapan masyarakat.

Dengan cepat seruan da’wah Aswad al-Ansiy yang mengaku nabi telah terdengar kemudian memperoleh pendukungdi Yaman. Da’wah Aswad al-’Ansiy telah diikuti mayoritas penduduk Yaman yang memang berasal dari kabilahnya sendiri, yaitu kabilah Bani Madzhaj. Saat itu, kabilah Bani Madzhaj adalah kelompok yang paling berkuasa di Yaman. Aswad al-’Ansiy mengeluarkan fatwa bahwa malaikat dari langit telah turun kepadanya memberi wahyu dan memberitakan hal-hal ghaib. Perkataan itu ia perkuat dengan segala cara untuk meyakinkan manusia. Ia juga menyebarkan anak buahnya di setiap tempat. Tugas mereka selain sebagai informan tentang keadaan dan kondisi masyarakat Yaman, juga menciptakan kekacauan dan kesulitan di kalangan masyarakat untuk kemudian menganjurkan mereka mengadukan permasalahannya kepada Aswad al-’Ansiy. Masyarakat pun datang berbondong-bondong ke hadapan Aswad al-’Ansiy, masing-masing mengadukan perihal kesulitannya. Dan tentu saja, manusia durhaka itu dengan penampilan yang meyakinkan seolah-olah ia mengetahui segala permasalahan mereka. Praktek kekufuran ini telah merebak cepat dan luas, hingga Hadramaut dan Tha’if, bahkan sampai wilayah Bahrain dan ‘Adn.

Keimanan Mewariskan Keberanian

Dalam kondisi inilah terdengar berita keshalihan dan keteguhan iman seorang pemuda yang bernama Abu Muslim al-Khaulani. Seorang pemuda yang tetap yakin dengan keimanannya dan tetap berpegang teguh terhadap prinsip Islamnya. Bahkan dengan terang-terangan ia berani mencela dan membantah kelakuan Aswad al-’Ansiy. Men-dengar hal ini Aswad al-’Ansiy segera mengumpulkan sesepuh aliran sesatnya dan mengatur makar untuk memaksa Abu Muslim melalui siksaan atau pembunuhan. Caranya adalah dengan mengadakan upacara peribadatan dan mengundang segenap masyarakat untuk mendatanginya. Di tengah lapangan upacara sudah tersedia tumpukan kayu yang telah dibakar. Ia mengumumkan kepada khalayak tentang pertobatan seorang faqih Yaman, yang selama ini telah dielu-elukan oleh sebagian masyarakat; Abu Muslim al-Khalulani, untuk mengakui kenabiannya. Mendengar hal tersebut, Abu Muslim sama sekali tidak gentar, bahkan demi keimanannya ia berani mempertaruhkan nyawa jika memang dikehendaki Allah. Di samping itu ia juga merasa berkewajiban untuk menentang sekaligus menjatuhkan wibawa Nabi palsu itu di hadapan masyarakat.

Aswad al-’Ansiy duduk dengan congkak di atas singgasananya di hadapan kobaran api. Dan Abu Muslim dengan penuh tawakkal kepada Allah maju ke tengah lapangan. Mulailah dialog antara musuh Allah dan hamba-Nya yang shalih.

Aswad al-’Ansiy bertanya: “Apakah anda bersaksi bahwa Muhammad Rasulullah?”

“Ya, saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul Allah, dia penghulu para Rasul dan juga nabi terakhir…” dengan tegas Abu Muslim menjawab pertanyaan tersebut.

Aswad al’Ansiy pun bertanya: “Apakah anda mengakui bahwa saya adalah utusan Allah?”

Dengan tenang dan tanpa sejumput rasa takut Abu Muslim berkata: “Aduh, sayang telingaku kurang jelas menangkap kata-katamu…”

Tapi setelah berulangkali Aswad al-’Ansiy mengulang perkataannya Abu Muslim tetap menjawab dengan kata-kata yang sama. Mendengar ejekan itu dan melihat ketenangan dan keteguhan Abu Muslim akhirnya Aswad al-’Ansiy naik pitam dan memvonis Abu Muslim untuk dibakar di tengah api yang telah menyala-nyala.

Para sesepuh Nabi Palsu itu semula telah membisiki kekhawatirannya kepada Aswad al-’Ansiy: “Pemuda ini jiwanya bersih, dan do’anya pasti mustajab. Allah takkan melupakan seorang hamba-Nya yang tak melupakan-Nya di saat kesulitan. Ada bebarapa kemungkinan jika engkau memasukkan dia ke dalam api. Bila ternyata ia diselamatkan oleh Allah dari jilatan api, kedok kita akan terbuka berarti apa yang engkau upayakan selama ini akan hancur, dan orang-orang pasti akan mengingkari kita. Dan bila ternyata api telah membakarnya, pasti orang-orang akan kagum terhadap sikapnya dan mereka akan mendudukkannya di deretan para syuhada. Karena itu biarkan saja dia…” Namun rupanya kemarahan Aswad al-’Ansiy sudah tak dapat terbendung sehingga hukuman pembakaran itu tetap dilaksanakan.

Maka terjadilah apa yang dikehendaki Allah, ternyata jilatan api tak dapat membakar jasad Abu Muslim al-Khaulani. Kejadian tersebut lalu membangkitkan keimanan penduduk Yaman dan serta merta mereka membunuh manusia terlaknat yang mengaku nabi itu.

Setelah peristiwa itu, Abu Muslim tinggal di Madinah dan bergaul bersama para sahabat yang mulia seperti Abu Ubaidah, Abu Dzar, ‘Ubadah bin Shamit, Mu’adz bin Jabal dan lain-lain. Sampai suatu ketika ia turut serta pergi ke perbatasan Syam bersama pasukan kaum muslimin yang hendak berperang melawan Romawi.

Abu Muslim dan Khalifah Mu’awiyah

Banyak kisah yang tercatat antara Abu Muslim dan Mu’awiyah bin Abi Sofyan tatkala beliau memegang kekhalifahan. Kisah-kisah tersebut menunjukkan kemuliaan pribadi dan ketinggian jiwa kedua-duanya, baik Abu Muslim dan Mu’awiyah.

Pernah suatu ketika di tengah majlis khalifah yang dikelilingi oleh para pengawal dan penjaga, Abu Muslim berkata kepada khalifah: “Assalamu ‘alaika ya ajiral mu’minin (orang upahan kaum mu’minin)”.
Mendengar perkataan itu tentu saja para pengawal kaget dan mengingatkan Abu Muslim: “Amirul mu’minin ya Abu Muslim, bukan ajirul mu’minin.”

Tapi lagi-lagi Abu Muslim mengucapkan hal yang sama, “Assalamu’alaika ya Ajiral mu’minin.” Mereka kemudian menduga-duga apa yang akan dilakukan khalifah. Namun khalifah ternyata tidak marah, malah mempersilahkan Abu Muslim untuk menerangkan kata-katanya: “Biarkanlah Abu Muslim, insya Allah dia yang lebih tahu maksud kata-katanya.”

Abu Muslim lalu menjelaskan: “Perumpamaan dirimu setelah diberi amanat oleh Allah untuk mengurus manusia adalah seperti seorang pemilik kambing yang menyewa orang lain untuk mengurus kambingnya. Pemilik kambing akan memberi upah atau balasan untuk orang itu bila ia dapat memelihara kambingnya dengan baik dan menjadikan susunya bertambah. Tapi jika ia teledor sehingga mengakibatkan kambing itu mati dan air susunya menyusut, tentu pemiliknya akan marah dan takkan memberi upah apa-apa terhadapnya. Pilihlah antara kedua hal ini yang baik untukmu…”

Mu’awiyah yang semula menunduk kemudian mengangkat kepalanya dan berkata: “Jazakallah, ya Aba Muslim, kami memang mengenalmu sebagai seorang penasihat bagi Allah, Rasul-Nya dan kaum muslimin.”
Pernah pula tatkala Mu’awiyah menahan pemberian hak atas sebagian orang selama dua bulan, di tengah pidato Khalifah, Abu Muslim berdiri dan berkata: “Wahai Mu’awiyah, sesungguhnya harta ini bukan hartamu, bukan pula harta ayah dan ibumu. Apa hakmu untuk menahan pemberian harta kepada manusia?”

Air muka khalifah pun merah padam, ia marah mendengar perkataan Abu Muslim. Dengan penuh khawatir, orang-orang pun menunggu apa yang akan dilakukan Khalifah terhadap Abu Muslim. Tapi Mu’awiyah kemudian hanya memerintahkan masyarakat agar tidak bubar dan tetap dalam tempatinya. Mu’awiyah lalu turun dari mimbar dan berwudhu’. Ia membasahi beberapa anggota tubuhnya dengan air. Setelah selesai ia kembali ke atas mimbar, mengucapkan hamdalah dan sha-lawat atas Rasulullah, kemudian berkata: “Sesungguhnya Abu Muslim telah mengingatkan bahwa harta ini bukanlah hartaku, harta ibu atau ayahku. Perkataan Abu Muslim itu benar… Dan aku men-dengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya marah itu dari syaithan, dan syaithan itu dari api. Air dapat mematikan api. Maka jika salah seorang kalian marah maka hendaklah ia berwudhu’…. Wahai manusia silahkan ambil hak-hak kalian ‘ala barakatillah…”

Semoga Allah membalas Abu Muslim al-Khaulani. Beliau adalah contoh ideal tentang keberanian menyuarakan kebenaran. Semoga pula Allah meridhai Mu’awiyah bin Abi Sofyan dengan ridha yang sempurna. Beliau adalah contoh terbaik tentang sikap ruju’ (kembali) kepada kebenaran. ∎

Sumber : Majalah Ishlah, No. 13/Th I, Desember 1993
Ebook : syauqy_arr

HUD - HUD yang Setia

HUD HUD YANG SETIA

Dan dia (Nabi Sulaiman as) memeriksa burung-burung lalu berkata: “Mengapa aku tidak melihat hud-hud apakah dia termasuk yang tidak hadir. Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras atau benar-benar menyembelihnya atau benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang.” Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud) lalu ia berkata: “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya, dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari. selain Allah. Dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-pcrbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah) sehingga mereka tidak dapat petunjuk, agar mereka tidak menyembah Allah. Yang mengeluarkan apa yang di langit dan di bumi dan Yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Allah, tiada Tuhan yang disembah selain Dia Tuhan yang mempunyai arsy yang besar.” Berkata Sulaiman:” Akan kami lihat, apa kamu benar ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta. Pergilah dengan (membawa) suratku ini, lalu jatuhkan kepada mereka kemudian berpalinglah dari mereka, lalu perhatikanlah apa yang mereka bicarakan.” (QS An Naml 20-28).

Disiplin Sulaiman as

Salah satu unsur terpenting dalam kehidupan berjamaah atau bermasyarakat dan bernegara adalah tegaknya disiplin atas berbagai peraturan yang menata manusia-manusia yang berada di dalam jamaah atau masyarakai tersebut. Tanpa kedisiplinan hancurlah segala pola kerja yang disepakati atau yang seharusnya berlaku. Nabi Sulaiman as memberikan teladan kepada ummat manusia bagaimana ia menegakkan disiplin kepada sekalian tentaranya, termasuk burung-burung yang menjadi tonggak penting perhubungan pada saat itu, yaitu burung Hud-Hud.

Ketegasan Sulaiman as jelas sekali dalam kata-katanya, “Mengapa aku tidak melihat burung Hud-Hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir. Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras, atau benar-benar menyembelihnya atau benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang.”
Kelalaian yang meliputi semua unsur dalam tatanan masyarakt sangat diperlukan bagi masyarakai muslim agar mereka bisa kokoh dan tegar. Allah SWT berfirman: “Hai sekalian orang-orang yang beriman. Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasulullah. dan orang-orang yang memegang urusan (pemerintahan) dari kamu.” (An Nisaa 59).

Rasulullah SAW bersabda: “Seorang muslim wajib mendengar, taat pada pemerintahnya, dalam apa yang disenangi dan apa yang dibencinya, kecuali jika diperintah untuk ma’shiyat kepada Allah SWT. Maka apabila diperintah ma’shiyat, maka tidak wajib mendengar dan tidak wajib taat.” (Bukhori dan Muslim). Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang melepas tangan dari taat maka akan benemu dengan Allah pada hari kiamat, tidak berhujjah (beralasan). Dan siapa yang mati sedang tiada di lehernya suatu baiat maka mati sebagai mati jahiliyah.” Sedangkan Ibnu Umar ra menceritakan: “Kami jika berbaiat kepada Rasulullah saw atas mendengar dan taat. maka Nabi saw bersabda: “Dalam apa yang kamu dapat mengerjakan.” (Bukhori dan Muslim)

Fathi Yakan berkata dalam bukunya yang berjudul Aids Haraki: “Setiap amal harus ditegakkan di atas nilai-nilai aqidah dan fikrah yang benar. Harus didukung dengan prinsip-prinsip siyasi dan haraki yang berdasarkan syariat. Ia tidak guncang karena perubahan situasi dan kondisi. Para personilnya jangan sampai mengorbankan prinsip hanya karena alasan murunatul Islam (kelenturan Islam) dan Ijtihad dalam rangka melakukan siasat memanfaatkan peluang. Sebuah harakah manakala mentolerir pelanggaran terhadap sebagian saja dari nilai-nilai syar’i, hakikatnya ia telah mempertaruhkan kepribadian dan kehormatannya. Jadilah ia sebuah harakah tanpa kepribadian dan kehormatan. Perjalanannya labil, langkahnya tersendat-sendat, dan bangunannya selalu terancam badai yang siap menghancurkannya setiap saat.”

Hud Hud yang Setia

Ketegasan Nabi Sulaiman as dalam memberi ancaman sanksi kepada Hud-Hud bukan sebuah isyarat bahwa raja yang mampu menangkap bahasa hewan itu melihat ada sebuah ketidakberesan dalam ketaatan pada burungnya. Sulaiman as hanya menerapkan sebuah disiplin hidup berkelompok di mana Hud-Hud seharusnya memberikan kesetiaan penuh.

Oleh karena itu tatkala Hud-Hud tiba, beliau menanyai lebih dahulu kepada burung tersebut sebab-sebab ketertambatannya. Hud-Hud punya kesempatan untuk menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya sehingga terpenuhilah sebagian dari syarat bagi ancaman Nabi Sulaiman as: “… atau benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang.” Dan ternyata, Hud-Hud memang mempunyai alasan yang sangat masuk akal. Namun, Sulaiman as tak puas hanya sampai di situ. Beliau perlu meminta bukti-bukti yang nyata, sehingga diutuslah burung tersebut dengan membawa surat.

Pengecekan terhadap kebenaran alasan yang diberikan seorang yang melonggar peraturan adalah manhaj yang sahih. Itulah prosedur hukum yang patut dihormati demi tegaknya keadilan dan kebenaran, sekalipun terhadap mereka yang sebenarnya tidak memiliki cacat-cacat sebelumnya.

Rasulullah saw pernah menerapkan hal ini kepada Kaab bin Malik yang tertinggal dalam Perang Tabuk.

Mengenai dirinya Kaab berkata: “Belum pernah saya tertinggal dari Rasulullah saw dalam suatu peperangan kecuali dalam perang Tabuk. Hanya saya tertinggal dalam perang Badar, karena Rasulullah saw keluar hanya untuk meng-hadang kafilah Quraisy… sedang saya telah menyaksikan bersama Rasulullah saw malam Bai’atul Aqabah ketika kami berbaiat atas Islam. Dan saya merasa tak suka jika kejadian Bai’atul Aqabah ditukar dengan perang Badar.”

Ketika Kaab bin Malik memberikan keterangan kepada Rasulullah saw, ia telah berkata sejujur-jujurnya: “Ya, Rasulullah demi Allah seandainya sekarang ini saya sedang duduk di depan seseorong selain engkau, pastilah aku dapat memberikan alasan-alasan untuk menyelamatkan diriku dari murkanya, sebab saya cukup pandai berdebar. Tetapi demi Allah, saya yakin jika kini saya berdusta kepadamu yang mungkin Anda terima dan ridho kepadaku, mungkin Allah murka kepadaku… demi Allah sebenarnya tidak ada udzur bagi saya….”

Rasulullah saw tetap saja menerapkan sanksi bagi Kaab, berupa pemboikotan hubungan, sampai datang penjelasan Allah SWT dalam surat At-Taubah tentang pengampunan Kaab dan dua orang temannya.

Kesalahan Hud Hud

Kesalahan yang mungkin terjadi pada diri seseorong dalam sebuah kelompok atau masyarakat yang terpimpin, dapat merupakon kesalahan yang bersifat konsepsional (fikri), moral (ma’nawi) atau operaslonal (amali). Kesalahan ini berbeda-beda dampaknya dan tentu juga timbangan berat kesalahannya. Apa yang dilakukan Hud-Hud, kalau bisa disebut sebuah kesalahan, adalah kesalahan amali (operasional). Tetapi Hud-Hud kemudian berhasil menjelaskan bahwa kesalahan itu sangat wajar terjadi, karena ia memang melihat sesuatu yang sebenarnya memang menjadi misi bagi kenabian Sulaiman as sendiri. Ia melihat suatu masyarakat jahiliah yang seharusnya menjadi obyek dakwah Nabl Sulaiman as, tetapi ternyata belum terdata oleh raja itu. Karenanya, keterlambatan kedatangan Hud-Hud membawa hikmah tersendiri, yakni berinteraksinya Nabi Sulaiman as dengan Ratu Balqis. Tidak ada kegoncangan strukural dalam tubuh pasukan Sulaiman as lantaran ulah Hud-Hud.

Apa yang dibuat Hud-Hud tidaklah sama dengan kaumnya Nabi Musa as ketika mereka ditinggal untuk beberapa waktu. Sepulang Musa as, kaumnyo telah membuat patung sesembahan berbentuk sapi yang bisa mengeluarkan suara. Penyeimpangan itu begitu fatal sehingga hampir saja menghancurkan kaum Musa, ketika terjadi dua kubu. Kubu Harun as sebagai pendamping Nabi Musa yang ditinggal bersama mereka, dengan Samiri seorang yang berhasil mempengaruhi pemikiran kaumnya sehingga menyembah sesuatu selain Allah SWT.

Penyimpangan kaum Musa bersifat konsepsional dan sangat berbahaya bagi kesatuan akidah dan fikroh masyarakat yang tengah dibina Nabi Musa AS.

Hal yang perlu dicatat adalah sekalipun “masalah” yang terjadi pada Hud-Hud bersifat operasional tetap saja Nabi Sulaiman as menegakkan disiplinnya dengan memberikan beberapa ancaman sampai Hud-Hud dapat membulatkan argumentasinya dengan meyakinkan. Hal ini sangat penting. Sebab kesalahan operasional tidak boleh dianggap sepele, sehingga orang bermudah-mudah dalam melakukannya.

Dapatkah anda bayangkan akhir pertarungan sebuah pasukan yang disiapkan untuk menyerang pada suatu saat tertentu. Tiba-tiba para prajuritnya terlambat berdatangan, meskipun masing-masing membawa alasan yang wajar?

Sumber : Majalah Ishlah, No. 13/Th I, Desember 1993
Ebook : syauqy_arr